DIRGANTARA UTAMA

Iiih .... Bapak Ibu Guru Bodoh!

Iiih . BAPAK IBU GURU BODOH SIH! 


Itulah reaksi spontan seorang ibu rumah tangga dalam suatu seminar tentang pendidikan ketika ia mengetahui bahwa honorarium guru honorer dihitung dengan cara yang menurutnya aneh. Jika dalam seminggu seorang guru mengajar 10 jam pelajaran, maka hitungan tersebut dihitung untuk sebulan. Artinya bukan berarti sebulan (4 minggu) dikali 10 jam sehingga muncul angka 40 jam lalu dikali jumlah nominal honorariumnya, misalnya Rp. 10.000, sehingga muncul angka 400.000, tetapi 10 jam tadi ya dikali Rp. 10.000 sehingga per bulan honorarium yang didapat Rp. 100.000. Bagaimana bisa begitu? Lha koq bodoh sekali!!


Siapa Yang Bodoh?

Menurutnya, jika orang lain yang menentukan cara penghitungan tersebut, Bapak Ibu Guru tetap bodoh. Mestinya kalau Bapak Ibu guru itu cerdas koreksi dong, bukankah pekerjaan guru itu salah satunya mengoreksi pekerjaan siswanya? Jika hitungan itu muncul dari Bapak dan Ibu guru sendiri, makin bodohlah Bapak Ibu guru, koq seperti orang yang tidak bisa ngitung? Pantaslah kalau anak didiknya tak maju-maju, wong ngitung untuk nasib dirinya sendiri saja aneh!!!

Sebagai seorang guru honorer, penulis merasa ditampar. Sekilas kesimpulan si Ibu tadi betul sekali. Tetapi juga penulis tak bisa berbuat apa-apa, dan sama sekali tidak tahu siapa yang membuat aturan penghitungan honorarium seperti itu. Nampaknya cara penghitungan tersebut sudah ada sejak dulu yang entah kapan mulai berlakunya.

Berbicara tentang 'kebodohan' Bapak dan Ibu guru tersebut, penulis juga pernah mendengar seorang instruktur penataran yang mengatakan bahwa di Jakarta beberapa tahun lalu pernah diadakan tes mata pelajaran Fisika(?) untuk guru dan siswa. Telah diundang 100 guru fisika dan 100 siswa. Mereka ditempatkan di ruangan yang berbeda, kemudian mereka diberi soal yang sama. Setelah selesai dikoreksi muncul nilai rata-rata untuk guru 4,0 sedangkan untuk siswa 4,2. Siapa yang lebih pandai? Siapa yang lebih bodoh? (Nilai dibawah 5 identik dengan bodoh). Tak dijelaskan apakah yang dites itu guru-guru PNS atau honorer.

Penulis pernah bekerja di biro psikologi yang salah satu kliennya adalah para siswa SMU yang akan melanjutkan studi ke PT. Jika hasil tes psikologisnya, menurut psikolog, baik maka mereka disarankan ke universitas tetapi jika sebaliknya disarankan ke IKIP. Apakah faktor input psikologis guru yang membuat kualitas pendidikan kita kurang baik? Perlu penelitian lebih lanjut.

Sekilas Kondisi Guru PNS dan Honorer

Bagaimana dengan kualitas guru PNS yang digaji lebih besar berlipat-lipat daripada guru honorer? Mereka dihitung 18 jam mengajar per minggu yang rata-rata disebar ke dalam 4 hari mengajar dengan mendapat gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja. Jika lebih dari 18 jam mengajar seminggu maka kelebihan jam mengajar itu akan dihitung dan diberi honorarium tersendiri. Jika di sekolah induknya hanya mengajar 4 hari maka yang 2 hari biasanya mereka gunakan untuk mengajar di sekolah lain entah swasta atau sekolah negeri lain, mengajar di lembaga bimbingan belajar, buka les privat di rumah atau memberi les di sekolah. Dengan demikian mereka mendapat penghasilan yang lebih dari cukup jika dibandingkan dengan yang diterima guru honorer. Jika jumlah jam mengajarnya kurang dari 18 jam biasanya akan digenapi dengan tugas piket sehingga pas 4 hari.

Seorang guru honorer jika mengajar penuh selama seminggu paling banyak jam mengajarnya 45 jam pelajaran, dan honorarium yang didapat tergantung kemampuan sekolah tinggal dikalikan berapa selama sebulan. Menurut sebuah lembaga ikatan guru honorer, 70% guru honorer berpenghasilan rata-rata Rp. 350.000 sebulan. Tetapi data ini meragukan sebab di Yogyakarta lebih banyak dari mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp. 200.000. Sedikit sekali sekolah di Yogyakarta yang memberi honorarium Rp. 10. 000 per jam. Umumnya berkisar dari Rp. 5.000 - Rp. 7.500. Bahkan ada yang masih Rp. 2.500. Mungkin data itu diambil di Jakarta atau kota besar lainnya yang UMR-nya sudah baik.

Apakah kualitas guru PNS lebih baik dari guru honorer? Tentu sangat relatif. Yang jelas sangat sedikit guru PNS golongan IVA yang bisa naik ke IVB, karena syaratnya adalah harus menghasilkan karya tulis. Sedikit sekali dari mereka yang aktif menulis atau mengikuti lomba karya tulis, tahun ini saja untuk lomba karya tulis guru tentang IMTAQ hanya diikuti 1.155 peserta, bandingkan dengan jumlah guru seluruhnya. Jangankan mengikuti lomba karya tulis, untuk administrasi pembelajaran saja banyak yang membuatnya jika akan ada pengawas atau kenaikan golongan itupun cukup mencontoh atau memfotocopy milik guru lain. Di 3 SMU tempat penulis mengajar baru ada 1 guru PNS yang bisa mencapai golongan IVB, padahal banyak yang sudah IVA. Kenapa mereka tidak menulis? Alah untuk apa? Sebentar lagi khan pensiun, begitu umumnya mereka beralasan. Nampaknya guru PNS cenderung stagnan. Datang, mengajar, pulang. Tidak perlu macam-macam toh nanti naik juga golongannya, dan akhirnya mandeg di IVA sampai pensiun. Ada guru PNS yang lebih berat ke bimbingan belajar dan sering meninggalkan tugas mengajar demi memberi privat di bimbel. Padahal sudah diberi jatah libur 2 hari yang idealnya diunakan untuk persiapan dan evaluasi. Tetapi biarlah itu toh sudah ada yang mengaturnya. Saya kira pembaca bisa melihat realitas yang sebenarnya. Di sisi lain banyak juga guru honorer yang berdedikasi dan kreatif dalam mengajar meskipun harus pintar-pintar mengatur waktu agar dapur bisa mengepul. Umumnya guru honorer mengacu cara kerja guru PNS dengan mengikuti MGMP atau penataran yang diberikan oleh guru-guru PNS. Sangat disayangkan jika yang dijadikan acuan adalah guru PNS yang kurang baik.

Permasalahan Guru Honorer

Sekarang ini guru honorer mendapat apresiasi pemerintah berupa tunjangan 75 ribu rupiah/bulan bagi yang mengajar minimal 6 jam pelajaran per minggu. Guru PNS yang ditempatkan di sekolah swasta (DPK) dan guru PNS yang memanfaatkan 2 hari liburnya dengan mengajar di sekolah swasta juga mendapatkannya. Kabarnya tunjangan tersebut dinaikkan menjadi 100 ribu per bulan mulai Oktober 2002. Semua itu dimaksdukan untuk menaikkan taraf hidup dan kinerja guru honorer.

Tetapi permasalahan utama adalah bagaimana guru honorer itu mendapatkan jaminan kerja yang memadai. Alasannya pertama, guru honorer lebih berat kerjanya daripada guru PNS. Hal ini terutama disebabkan in put siswanya. Sangat sedikit sekolah swasta yang menerima siswa secara selektif sehingga hanya siswa yang relatif cerdas saja yang diterima. Umumnya sekolah swasta menerima siswa 'buangan' dari sekolah negeri sehingga kemampuan berfikir (kognitif) mereka relatif lebih rendah daripada siswa sekolah negeri. Kedua, guru swasta tidak memiliki perlindungan hukum. Mereka bisa saja dipecat secara sepihak oleh yayasan karena misalnya jumlah siswa yang diterima berkurang (kebetulan penulis pernah mengalaminya). Guru tetap yayasan pun terancam di-PHK jika jumlah murid yang diterima berkurang lebih-lebih jika tidak mendapatkan murid. Guru honorer lebih riskan lagi, ia dengan sangat mudah akan mendapatkan surat 'ucapan terima kasih' (benar-benar surat ucapan terima kasih) jika sekolah menghendaki ia berhenti mengajar karena berbagai alasan, mungkin tidak cocok dengan murid (yang umumnya sangat unik), tidak disenangi oleh rekan sejawat guru lain dll. Ketiga, dengan tingkat kesejahteraan yang jauh dibawah guru PNS bagaimana guru honorer bisa berkreasi untuk meningkatkan kualitas lulusannya? Guru PNS saja cenderung mandeg, padahal digaji relatif lebih baik. Hampir-hampir suatu hal yang absurd menuntut guru honorer berkualitas apabila tidak ada peningkatan kesejahteraannya.

Solusi

1. Sekolah swasta harus memiliki dana abadi. Dengan menghitung biaya operasional per bulan (tentu saja setelah uang honorariumnya dinaikkan secara layak) maka sekolah tinggal mencari sejumlah dana guna didepositokan di bank. Bunga deposito itulah yang digunakan untuk biaya operasional per bulan. Dengan demikian mereka yang bekerja atau terlibat dalam pengelolaan sekolah tersebut memiliki rasa aman bahwa setiap bulannya mereka akan mendapatkan gaji atau honorarium. Rasa aman ini akan meningkatkan kreatifitas pada akhirnya. Penggalian dana abadi tersebut bisa dilakukan pada awal tahun pelajaran baik kepada siswa baru atau lama secara proporsional. Sedangkan income per bulan yang dibayarkan siswa melalui SPP tentu bisa diatur pengelolaannya apakah untuk memperbesar deposito atau untuk yang lain. Bisa juga justeru untuk biaya operasional sedangkan bunga deposito bank hanya sebagai dana cadangan untuk misalnya gaji ke-13, beasiswa guru kuliah S2 atau yang lainnya yang tentu bisa dibicarakan. Beberapa sekolah di Yogyakarta sudah ada yang menerapkan hal tersebut.

2. Sekolah harus melakukan komunikasi yang transparan. Sekolah membicarakan dulu secara matang visi dan misinya dengan intern sekolah kemudian dipaparkan di hadapan para orang tua murid. Dengan komunikasi yang jelas, intensif dan bermanfaat, para orang tua tentu akan menerima segala konsekuensi dari proposal sekolah karena mereka tahu akan dibawa ke mana anak-anak mereka oleh sekolah tersebut.

3. Guru honorer harus membentuk organisasi yang kuat sebagai media peningkatan diri sekaligus perlindungan hukum jika terjadi permasalahan kerja. Bisa juga membentuk koperasi sekolah yang kuat sebagai solusi peningkatan kesejahteraan. Banyak yang bisa digarap di sekolah misalnya pengelolaan kantin yang bagus, pembuatan diktat yang baik yang bisa dipasarkan kepada siswa atau hal-hal lainnya yang tidak saja bisa meningkatkan kesejahteraan tetapi juga kualitas keguruannya.

4. Pengaturan jumlah siswa per kelas harus dilakukan sedemikian rupa mengingat kemampuan siswa sekolah swasta umumnya lebih rendah, misalnya 20 siswa per kelas. Dengan demikian guru bisa melayani siswa secara lebih intensif dan pemberian perhatian yang relatif cukup kepada siswa. Dengan demikian para orang tua tidak merasa rugi harus membayar sedikit lebih mahal karena putra putrinya mendapatkan pelayanan yang baik. Bagi guru sendiri tentu lebih mudah mengajar siswa yang lebih sedikit.